Sejatinya manusia tidak ingin terjebak dan terjerat dengan yang namanya kemiskinan. Terlebih kemiskinan berdampak negatif bagi kehidupan, baik individu, keluarga, dan masyarakat. Menurut Djamaludin Ancok, dampak negatif bagi individu disebabkan rendahnya tingkat pendidikan, rendahnya aspirasi, dan pasrah. Tidak hanya itu, kemiskinan pun berdampak pada psikologis keluarga, yang mana timbulnya rasa frustasi disebabkan kehidupan yang serba berkekurangan. Hal ini sangat berdampak pada tingkat ketenteraman rumah tangga (baca: keluarga). Selain itu, kemiskinan yang dialami dalam kehidupan keluarga dapat mengakibatkan anak mengalami mental stress. (Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso dalam bukunya Psikologi Islami).
Secara sederhana, kemiskinan merupakan ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar, semisal pakaian, makanan, kesehatan, pendidikan, dan tempat berlindung (baca; rumah). Persoalan kemiskinan telah menjadi persoalan global yang musti dipahami bersama. Kemiskinan sendiri memiliki beberapa jenis. Pertama, kemiskinan terus menerus (persistent poverty). Kedua, kemiskinan siklus (cyclical poverty). Ketiga, kesmiskinan musiman (seasonal poverty). Keempat, accidental poverty. Untuk mengentaskan kemiskinan itu sendiri, Bank Dunia mengutarakan beberapa strategi yaitu: pemberdayaan kaum miskin, peningkatan pendapatan, membuka lapangan pekerjaan, mengembangkan fasilitas pendidikan dan kesehatan.
Mendiskursuskan persoalan kemiskinan, terkhusus kemiskinan ekstrem yang ada di Indonesia. Pemerintah sudah merancang rencana strategis untuk mengentaskan kemiskinan ini. Presiden Jokowi pun menargetkan angka kemiskinan ekstrem di Indonesia menjadi 0% pada tahun 2024 mendatang. Tentunya sebagai warga negara yang baik, kita dituntut untuk mendukung penuh dan mengapresiasi terkait progam pemerintah dalam mengentaskan angka kemiskinan ekstrem tersebut. Lebih dari itu juga dituntut untuk membantu bersinergi bersama dalam mengentaskannya dengan cara atau kesanggupan kita sendiri. Saya kira, jika warga di Indonesia ini bersatu dalam sinergitas mengentaskan kemiskinan, maka akan lebih mudah. Sebagaimana pepatah menyebutkan “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”. Meskipun demikian, yang menjadi pertanyaan penting ialah di saat manusia terjerat dengan kemiskinan, seperti apa sikap seharusnya? Berubah atau pasrah?
Dalam ajaran agama (terkhusus Islam), kemiskinan adalah persoalan sosial yang sangat penting untuk dipikirkan bersama. Islam mengenal istilah zakat, sedekah, infaq sebagai bentuk upaya membantu saudara-saudara, baik muslim maupun non-muslim yang tidak memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur’an yang menganjurkan penganutnya untuk membantu seksama. Salah satunya pada ayat Adz-Dzariyat [51]; 19, yang artinya: “dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan yang tidak meminta”.
Prinsipnya, Tuhan tidak menghendaki hamba-Nya untuk terlena dalam kemiskinan dan bersikap pasrah dengan keadaan (baca: kemiskinan) tanpa berusaha untuk berubah, maka sikap itu tidak disenangi oleh-Nya. Karena kemiskinan bukan suatu nasib (baca: keadaan) yang bersifat permanen, namun kemiskinan merupakan keadaan yang masih dapat diubah.
Tuhan pun menegaskan dalam firman-Nya, yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan (nasib) suatu kaum, sehingga mereka (kaum tersebut) berusaha mengubah keadaan yang berada pada mereka sendiri”. (Q.S. Ar-Ra’d: 11). Oleh sebab itu, marilah kita bersama-sama dalam mengentaskan kemiskinan dengan cara saling menjaga, melindungi, dan memerhatikan orang-orang di sekitaran kita yang membutuhkan bantuan, tanpa harus mempermasalahkan keyakinan, ras, suku, dan budaya.
Oleh: Rozi, Dosen Agama Islam/Prodi Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Bangka Belitung